Sunday, 22 August 2021

RJP Anak

 RJP ANAK

A. BLS

    1. Pengertian BLS (Basic Life Support)

BLS (Basic Life Support) adalah tindakan pemberian pertolongan, pengobatan, dan perawatan pertama yang bersifat darurat dan harus dilaksanakan secara cepat, tepat, dan serasi ketika menangani korban kecelakaan dan bencana dengan kondisi gawat mengancam nyawa sebelum dirujuk ke rumah sakit atau sarana kesehatan lainya yang lebih maju (Tim Bantuan Medis Panacea, 2013).  Kondisi gawat mengancam nyawa diantaranya  seseorang yang mengalami henti jantung dan henti nafas (AHA, 2010). Pada BLS, tindakan pertolongan yang diberikan adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan pemeriksaan primary survey.

Pemeriksaan primary survey dilakukan untuk  segera mengetahui kondisi klien agar segera tertolongi dengan efektif. Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan dengan standar A-B-C (Airways, Breathing, Chest Compression) (AHA, 2005) atau C-A-B (Chest Compression, Airways, Breathing) (AHA, 2010).  Pada standar A-B-C, terbukanya jalan napas menjadi prioritas karena dengan terbukanya jalan napas, maka langkah berikutnya yaitu pertolongan pemberian breathing pada korban akan lancar sehingga korban mendapat bantuan napas segera saat ia mengalami henti napas.  Standar C-A-B adalah keluaran dari AHA 2010. Perubahan  standar ini dilakukan dengan alasan bahwa kebanyakan kasus tidak sadar adalah kasus kerdiogenik (misalnya: henti jantung, atau terlihat tanda-tanda serangan jantung), sehingga dalam penanganannya yang harus diutamakan adalah circulation. Menurut AHA (2015) dalam kondisi tidak tersedianya data baru, urutan 2010 belum diubah. Konsistensi dalam urutan kompresi, airway, dan napas buatan untuk CPR pada korban dari semua golongan usia mungkin paling mudah diingat dan dilakukan oleh penolong yang menangani pasien dari berbagai golongan usia. Menjaga urutan yang sama untuk pasien dewasa dan anak-anak akan menciptakan konsistensi dalam pengajaran.

    2. Tujuan Dilakukan BLS

Tujuan dari diberikanya BLS menurut Tim Bantuan Media Panacea (2013) adalah :

  • Mencegah kematian atau menyelamatkan nyawa seseorang
  • Mencegah atau mengurangi komplikasi (cacat/infeksi)
  • Menunjang upaya penyembuhan


B. RJP (Resusitasi Jantung Paru) atau CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation)

    1. Pengertian RJP (Resusitasi Jantung Paru)

RJP adalah kombinasi penyelamatan pernapasan melalui mouth-to-mouth dan kompresi dada. Hal ini dilakukan utuk membantu menjaga darah dan oksigen beredar ke jantung dan otak dari orang yang jantungnya telah berhenti berdetak (Heart Foundation, 2011). RJP terdiri dari penggunaan kompresi dada dan ventilasi buatan untuk mempertahankan aliran peredaran darah dan oksigenasi selama serangan jantung (Bon, 2017). RJP atau CPR berguna dalam banyak keadaan darurat, seperti serangan jantung dimana pernapasan atau detak jantung seseorang telah berhenti. American Heart Association merekomendasikan setiap orang baik yang terlatih dan tenaga medis memulai CPR dengan kompresi dada ( Mayo Clinic Staff, 2017).


C. Indikasi dan Kontraindikasi RJP 
    1. Indikasi RJP
Beberapa hal yang mengharuskan dilakukannya RJP yaitu apabila terjadi (Ganthikumar, 2016):
        a. Henti Nafas
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan nafas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya. Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba, dimana oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan memberikan bantuan resusitasi dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi organ.

        b. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac arrest. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh ventrikel asistol dan terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua jenis henti jantung yang berakhir lebih sulit ditanggulangi kerana akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis), pernafasan berhenti atau gasping, tidak terdapat dilatasi pupil karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oksigen dan fungsi pernapasan. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.
Bon (2017) menyatakan bahwa CPR harus dilakukan segera pada setiap orang yang tidak sadar dan ditemukan dalam keadaan pulseless. Penilaian dari aktivitas listrik di jantung melalui via rapid “irama strip” dapat memberikan analisis yang lebih rinci dari jenis serangan jantung, serta menunjukkan pilihan pengobatan tambahan. Hilangnya aktivitas jantung yang efektif umumnya karena inisiasi spontan aritmia nonperfusing. Aritmia nonperfusing paling umum adalah sebagai berikut:
  • Fibrilasi ventrikel (VF)
  • Pulseless takikardia ventrikel (VT)
  • Aktivitas listrik pulseless (PEA)
  • Bradikardia pulseless
CPR harus dimulai sebelum irama diidentifikasi dan harus dilanjutkan sementara defibrillator sedang diterapkan dan dicharged. Selain itu, CPR harus dilakukan kembali segera setelah adanya kejutan defibrillatory sampai keadaan denyutan stabil.

    2. Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak untuk CPR adalah DNR (do-not-resuscitate), permintaan yang menunjukkan keinginan seseorang untuk tidak dilakukan CPR saat serangan jantung. Kontraindikasi relatif dilakukannya CPR adalah  jika seorang dokter dibenarkan merasa bahwa intervensi medis yang dilakukan akan sia-sia (Bon, 2017). Medicinesia (2010) mengungkapkan bahwa resusitasi tidak dianjurkan bila terjadi henti jantung lebih dari 5 menit karena biasanya otak telah mengalami kerusakan permanen, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati, dan paru yang lanjut.


D. Konsep RJP pada Anak
    1. Rantai Keselamatan pada Anak
Travers, et al (2010) dalam FKUI (2015) menyatakan bahwa keberhasilan resusitasi jantung setelah henti jantung akan bergantung pada langkah-langkah yang harus kita lakukan secara berurutan. Hal ini disebut juga Rantai Keselamatan , berikut Rantai Keselamatan pada anak  yang mencakup:
  • Mencegah terjadinya cedara dan henti jantung
  • Melakukan RJP secara dini dengan teknik penekanan yang kuat
  • Aktivasi Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
  • Melakukan Bantuan Hidup Lanjut yang efektif
  • Melakukan resusitasi pasca henti jantung secara terintegrasi
Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut Pediatric Basic Life Support (BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dan kualitas hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart Association  tahun 2010 meliputi tindakan preventif, resusitasi jantung paru (RJP) segera dengan mengutamakan pijat jantung (teknik C-A-B atau Circulation-Airway-Breathing), mengaktifkan akses emergensi atau emergency medical system (EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan perawatan pasca henti jantung. Pediatric chain survival ini dapat dilihat pada gambar (Berg et al, 2010 dalam Yuniar, 2014).


Gambar 1. Lingkaran dasar basic life support (Berg et al, 2010 dalam Yuniar, 2014)


Sebagian besar kasus henti jantung pada anak disebabkan oleh hipoksia, hipoksia pada anak biasanya disebabkan karena penyakit pernapasan, syok hipovolemik, asma, pneumonia, menghirup asap berlebih, penyakit membrane hialin, malformasi jantung, dan malformasi paru (Health Grades, 2015). Pada anak jarang dijumpai gangguan primer jantung yang dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Hal ini menyebabkan teknik A-B-C masih banyak dikerjakan pada pasien anak, meskipun proses Airway-Breathing dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin. AHA menyatakan bahwa bila pijat jantung terlambat dilakukan, angka keberhasilkan resusitasi menjadi lebih kecil (Berg et al, 2010 dalam Yuniar, 2014). Lubrano, et al (2012) dalam Yuniar (2014) melakukan penelitian perbandingan C-A-B dan A-B-C pada 170 tim resusitasi dengan hasil bahwa teknik C-A-B membuat pengenalan dan intervensi henti jantung dan paru lebih cepat secara bermakna meskipun tidak berbeda bagi gangguan neurologis pasca henti jantung paru.

       2. Algoritma Serangan Jantung pada Pasien Pediatri Satu Penolong



Gambar 5. Penyedia layanan kesehatan BLS algoritma serangan jantung pada pasien pediatri untuk satu penolong-pembaruan 2015 (AHA, 2015)



    3. Algoritma Serangan Jantung pada Pasien Pediatri Dua Penolong


Gambar 6. Penyedia kesehatan BLS algoritma serangan jantung pada pasien pediatri untuk dua orang penolong atau lebih-pembaruan 2015 (AHA, 2015)


    4. Tabel Komponen CPR Berkualitas Tinggi untuk Penyedia BLS







Tabel 1. Ringkasan komponen CPR berkualitas tinggi untuk penyedia BLS (AHA, 2015)

    5. Teknik RJP pada Anak
Menurut AHA (2015) komponen CPR pada pasien anak usia 1 tahun-pubertas:
  1. Keamanan : Pastikan 3A, yaitu aman pasien, aman penolong, dan aman lingkungan.
  2. Korban tidak menunjukkan reaksi : Teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Aktifkan sistem tanggapan darurat atau Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) melalui perangkat bergerak (jika tersedia).
  3. Perhatikan apakah napas terhenti atau tersengal dan periksa denyut.

Gambar 2. Cara melakukan head tilt and chin lift (European Resuscitation Council, 2010 dalam Yuniar, 2014)


Gambar 3. Pemeriksaan denyut nadi pada anak (Dreamstime, 2017)


    4. Apakah denyut benar-benar terasa dalam 10 detik?
  • Bernapas normal, ada denyut : Aktifkan sistem tanggapan darurat (jika belum dilakukan). Kembali pada korban dan pantau hingga tenaga medis tiba.
  • Bernapas tidak normal, ada denyut : Berikan napas buatan, 1 napas buatan setiap 3-5 detik atau sekitar 12-20 napas buatan/menit.   1) Tambah kompresi jika denyut tetap ≤60/menit dengan tanda perfusi buruk. 2) Aktifkan sistem tanggapan darurat (jika belum dilakukan) setelah 2 menit. 3) Terus berikan napas buatan , periksa denyut kurang lebih setiap 2 menit. Jika tidak ada denyut, mulai CPR.
Gambar 4. Pemberian napas pada anak (RSCM, 2015)

  • Napas terhenti atau tersengal, tidak ada denyut a) Korban terlihat jatuh mendadak? (YA) : Aktifkan sistem tanggapan darurat (jika belum dilakukan), lalu ambil AED/defibrillator. (TIDAK) : Lakukan CPR, CPR untuk satu penolong mulai siklus 30 kompresi dan 2 napas buatan (30:2). Jika penolong kedua datang, gunakan rasio 15:2. Gunakan AED segera setelah tersedia. Dalam CPR jika tidak ada bukti pediatrik yang cukup, sebaiknya gunakan kecepatan kompresi dada orang dewasa yang disarankan mulai dari 100-120/menit untuk bayi dan anak-anak. Penempatan tangan, 2 tangan atau 1 tangan (opsional untuk anak yang sangat kecil) berada diseparuh bagian bawah tulang dada (sternum), dengan kedalaman minimum sepertiga dari diameter AP (anteroposterior) dada, sekitar 2 inci (5 cm). Lakukan rekoil penuh dada setelah setiap kali kompresi, jangan bertumpu diatas dada setelah setiap kali kompresi.


Gambar 5. Teknik kompresi pada anak (RSCM, 2015)


  • Jika penolong masih sendiri kurang lebih setelah 2 menit, aktifkan sistem tanggapan darurat, lalu ambil AED (jika belum dilakukan). AED menganalisis ritme, ritme dapat dikejut? (YA), ritme dapat dikejut : Terapkan satu kejut. Segera lanjutkan dengan CPR kurang lebih selama 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga tenaga ALS mengambil alih atau korban mulai bergerak. Ritme yang dapat dikejut atau dilakukan difibrilasi adalah VF dan VT tanpa nadi. Pada kondisi VT atau VF, sebelum dilakukan RJP/CPR, harus dilakukan shock dengan defibrilator terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemberian RJP. 

Gambar 6. Ritme VF (Harlangga, 2017)


Gambar 7. Ritme VT (Harlangga, 2017)


  • (TIDAK), ritme tidak dapat dikejut : Segera lanjutkan dengan CPR kurang lebih selama 2 menit (hingga AED membolehkan pemriksaan ritme). Lanjutkan hingga tenaga ALS mengambil alih atau korban mulai bergerak. Ritme yang tidak dapat dikejut adalah asistol, pada keadaan asistol CPR harus dimulai sebelum irama diidentifikasi dan harus dilanjutkan sementara defribrilator sedang diterapkan dan dicharged. Selain itu, CPR harus dilakukan kembali segera setelah adanya kejutan defribrillatory sampai keadaan denyutan stabil (Harlangga, 2017)


Gambar 8. Ritme Asistol (Harlangga, 2017)


E. Keputusan Mengakhiri Upaya Resusitasi
Setiap tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah diagnosis henti napas atau henti jantung dibuat. Tidak ada pernapasan spontan, refleks muntah, dan dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau di bawah efek barbiturat atau dalam anastesi umum. Tidak adanya tanggapan jantung atau tidak ada aktivitas listrik jantung terhadap tindakan resusitasi selama 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat optimal menandakan mati jantung. Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri jika ada salah satu keadaan berikut ini (Yuniar, 2014):
  • Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
  • Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung jawab meneruskan resusitasi  (bila tidak ada dokter).
  • Seorang dokter mengambil alih tangung jawab (bila tidak ada dokter sebelumnya).
  • Penolong terlalu lelah sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
  • Pasien dinyatakan mati.
  • Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).




DAFTAR PUSTAKA


  1. American Heart Association. (2010).  American Heart Association Heart Disease & Stroke    Statistics. Texas: American Heart Association.
  2. American Heart Association. (2015). Fokus utama pembaruan pedoman American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC. Texas: American Heart Association.
  3. Bon, C. A. (2017). Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Diakses pada 5 Maret 2017, dari: http://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview
  4. FK UNHAS. (2015). Buku Panduan Keterampilan Blok Reproduksi Resusitasi Neonatus. Diakses pada 27 Februari 2017 dari : http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2015/03/ BUKU-PANDUAN-KETERAMPILAN-BLOK-REPRODUKSI.pdf
  5. Ghantikumar, K. (2016). Indikasi dan keterampilan resusitasi jantung paru (RJP). ISM, 6(1), 1-2.
  6. Harlangga. (2017). Ventricular Tachicardia. Diakses pada 15 Maret 2017, dari : http://www.academia.edu/9711109/KARDIO_VT
  7. Health Grades. (2015). Some of the causes in children for Hypoxia in children may include [Internet]. Right Diagnosis From Healthgrades. Diakses pada 11 Maret 2017, dari: http://www.rightdiagnosis.com/symptoms/hypoxia_in_children/causes.html
  8. Heart Foundation. (2011). CPR-cardiopulmonary resuscitation. Diakses pada 5 Maret 2017, dari: www.heartfoundation.org.au
  9. Lakesma FKUB. (2014). Mari kita kenali Autometic External Defibrillator (AED). Diakses pada 7 Maret 2017, dari: http://lakesma.ub.ac.id/2014/06/mari-kita-kenali-automatic-external-defibrillator-aed/
  10. Mayo Clinic Staff. (2017). Cardiopulmonary resuscitation (CPR): First aid. Diakses pada 5 Maret 2017, dari: http://www.mayoclinic.org/first-aid/first-aid-cpr/basics/art-20056600
  11. Medicinesia. (2010). Kapan resusitasi dilakukan. Diakses pada 11 Maret 2017, dari: www.medicinesia.com/kapan-resusitasi-dilakukan/
  12. RSCM. (2015). Pelatihan internal RSCM bantuan hidup dasar 2015. Diakses pada 28 Februari 2017, dari : www.rscm.co.id
  13. Tim Bantuan Medis Panacea. (2013). Basic life support (edisi ke-13). Jakarta: EGC.
  14. Yuniar, I. (2014). Bantuan hidup dasar pada anak. CDK-220, 41(9), 707-709.



    












RJP Anak

  RJP ANAK A. BLS     1. Pengertian BLS ( Basic Life Support) BLS ( Basic Life Support ) adalah tindakan pemberian pertolongan, pengobatan, ...