Tuesday, 8 November 2016

Apendisitis

Apendisitis

1. Anatomi Apendiks
Apendiks atau usus buntu adalah bagaian dari usus yang muncul seperti corong dari akhir saikum pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat melewati oleh beberapa isi usus. Vertikulum seperti cacing dengan panjang mencapai 18 cm terbuka ke arah seikum sekitar 2,5 cm di bawah katub ileosekal. Apendiks tergantung dan menyilangkan pada linea terminalis masuk kedalam rongga pelvis minor terletak horizontal di belakang pada seikum untuk organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang menimbulkan perforasi. (Cah,2016)

Gambar 1. Anatomi Apendiks

Menurut (Sjamsuhidajat, 2004 dalam Hasya, 2011) secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang saraf vagus yang mengikuti lapisan mesenterika superior dan apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari saraf torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Perdarahan apendiks berasal dari apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Apendiks menghasilkan lendir sampai 2 ML perhari. Lendir normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks atau dengan nama lain igA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. 




2. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformisPenyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000 seperti dikutip dalam Agustin, 2016). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001) dalam Agustin (2016), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab untuk bedah abdomen darurat.
Infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus dan obstruksi lumen (penyebab utamaapendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis (Kumar, 2007 seperti dikutip dalam Selvia 2010).

3. Klasifikasi 
Menurut (Sjamsuhidayat, 2005 seperti dikutip dalam Agustin, 2016). 

A. Apendisitis akut
Tampil dengan gejala khas yaitu oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney (1/3 lateral garis imajiner yang menghubungkan Spina Iliaka Anterior Superior (SIAS) dan umbilikus). Di sini nyeri dirasakan lebih tajam.

B. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu dan radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

Way dan Doherty (1994) dalam Selvia (2010) menyebutkan klasifikasi apendisitis, yaitu:
A. Apendisitis akut
1) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
2) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis) 
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3) Apendisitis Akut Gangrenosa 
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

B. Apendisitis Kronis 
Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
1) Apendisitis Infiltrat 
Apendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
2) Apendisitis Abses 
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
3) Apendisitis Perforasi 
Apendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.


4. Etiologi
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Distensi dari obstruksi lumen menyebabkan kompromi suplai darah yang terjadi pada dinding apendiks yang dapat menyebabkan iskemia, pertumbuhan bakteri dan translokasi. Hal ini dapat mengakibatkan perforasi jika tidak segera ditangani (Abeles & Murphy, 2016).Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Distensi dari obstruksi lumen menyebabkan kompromi suplai darah yang terjadi pada dinding apendiks yang dapat menyebabkan iskemia, pertumbuhan bakteri dan translokasi. Hal ini dapat mengakibatkan perforasi jika tidak segera ditangani (Sjamsuhidajat, 2004 dalam Hasya, 2011).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan rendah serat dan pengaruh konstipasi mempengaruhi timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2004 dalam Hasya, 2011).

5. Penatalaksanaan 

A. Tindakan
Menurut Akhyar, 2008 dalam Nur Agustin (2016), Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru dan efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.
Menurut Eylin,2009 terdapat teknik terbaru pada penatalaksanaan apendisitis yaitu dengan laparoskopi. Laparoskopi adalah prosedur pembedahan dengan fiberoptik yang dimasukkan kedalam abdomen dengan melalui insisi kecil yang dibuat pada dinding abdomen. Denagan laparoskopi lita bisa melihat langsung apendiks, organ abdomen dan pelvis yang lain. Jika apendisitis ditemukan, apendiks dapat langsung diangkat melalui insisi kecil tersebut. Laparoskopi dilakukan dengan anestesi general. Keuntungannya setelah operasi, nyerinya akan lebih sedikit karena insisinya kecil serta pasien bisa kembali beraktivitas lebih cepat. Keuntungan lain adalah dengan laparoskopi ini ahli bedah dapat melihat abdomen terlebih dahulu jika diagnosis apendisitis diragukan. 

Menurut Mansjoer dalam Katerin (2011), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:
1. Sebelum operasi 
a.  Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi 
b. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin 
c.  Rehidrasi 
d. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena
e.Obat(obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai 
f. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi  
2. Operasi 
a.  Apendiktomi 
b. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika 
c.  Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan    
3. Pasca Operasi 
a.Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan. 
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah 
c.  Baringkan pasien dalam posisi semi fowler 
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien dipuasakan 
e.  Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal. 
f.  Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak 
g. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit 8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar 
h. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang  Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan (Pieter, 2005). 
Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). 
B. Komplikasi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dalam Katerin (2011), komplikasi potensial setelah apendiktomi antara lain: 
1. Peritonitis  
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen, dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program. 
2. Abses pelvis atau lumbal 
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif. 
3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma) 
Bila terbentuk abses appendik maka akan teraba massa pada kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung pada rektum atau vagina. Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses. 
4. Ileus 
Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.
7. ASKEP
Diagnosa Keperawatan :
1. Nyeri akut b.d Inflamasi & Infeksi
2. Ansietas b.d Prognosisi Penyakit Program Pembedahan
3. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Gastrointestinal b.d Proses Infeksi
4. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Cairan Aktif, Mekanisme Kerja Peristaltik Usus Menurun
5. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Faktor Biologis, Ketidak Mampuan Mencerna
6. Resiko Infeksi b.d Ketidakadekuatan Pertahan Tubuh
7. Hipertermi b.d Respon Inflamasi Gastrointestinal
8. Kerusakan Jarigan b.d Hipoksia Jaringan Apendic
9. Gangguan Rasa Nyaman b.d Efek Anastesi
Prioritas Masalah :
1. Nyeri akut b.d Inflamasi & Infeksi
2. Ansietas b.d Prognosisi Penyakit Program Pembedahan
3. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Gastrointestinal b.d Proses Infeksi
4. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Cairan Aktif, Mekanisme Kerja Peristaltik Usus Menurun















DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Nur. (2016). Bab II Konsep Dasar. Diakses pada tanggal 25 September 2016.Dari:http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-babii.pdf
Anonimus (2016). Appendicitis. Diakses pada tanggal 7 November 2016. Diakses   dari :http://images.medicinenet.com//images/slideshow/appendicitis_s1_appendix_illustration.jpg
Anonimus (2016). Appendicitis. Diakses pada tanggal 7 November 2016. Diakses  dari : http://www.nhs.uk/Conditions/appendicitis/Pages/Introduction.aspx
Eylin. (2009). Karakteristik Pasien Literatur. pada tanggal 25 September 2016.  Dari:http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122559-S09008fk-Karakteristik%20pasien -Literatur.pdf
Naulibasa, Katerin. (2011). Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun di RSUP H. Adam Malik. Diakses pada tanggal 25 September 2016.Dari:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23502/4/Chaper%20II.pdf
Abeles,A & Murphy,J. (2016). Appendicitis and lower gastrointestinal emergencies. Diakses pda tanggal 25 Oktober 2016, dari: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0263931916301120
Hasya, M.N. (2011). Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis Apndisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016, dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf
Cah, N. N. (2016). Asuhan keperawatan klien Tn. A dengan post apendiktomi di Ruang Umar Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Diakses pda tanggal 25 Oktober 2016, dari: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-novinurcah-5123-2-babii.pdf
Agustin, N. (2016). Perawatan pada klien pre dan post operasi apendiktomi dan   aplikasinya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien post operasi apendiktomi. Diakses pada 25 Oktober 2016, dari:http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-babii.pdf
Selvia, B. (2010). Karakteristik penderita apendisitis rawat inap di Rumah Sakit Tembakau Deli PTP Nusantara Ii Medan TAHUN 2005-2009Diakses pada 25 Oktober 2016, dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter%20II.pdf

Thursday, 27 October 2016

Trombosis Vena Dalam (TVD)




TROMBOSIS VENA DALAM (TVD)

Http://www.thrombocyte.com/dvt-deep-vein-thrombosis/ 

DVT ( Deep Vein Thrombosis ) adalah kondisi di mana trombus terbentuk di dalam vena khususnya terdapat di ekstremitas bawah dan paha. DVT adalah kondisi dimana trombus 
terbentuk di dalam vena terutama pada ekstremitas bawah dan paha. Bentuk, tumbuh dan terputus atau hancur dari trombus vena dan mencerminkan keseimbangan antara dampak 
meransang pembekuan darah dan ragam mekanisme perlindungan(II WJ Ciccone,VD Pellegrini. 1996). Trombosis terjadi akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan 
komponen pembekuan darah(Virchow triat). Kejadian trombosis vena perlu pengawasan,pengobatan serta pelaksanaan pencegahan terhadap perluasan trombosis dan terbentuk 
emboli pada daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian. 
DVT penyebab mortalitas dan mobilitas. DVT yang mendahului kanker primer merupakan kejadian sindrom para neoplastik gejala dari kerusakan suatu organ atau jaringan.
Pasien dengan DVT biasanya datang dengan keluhan nyeri, bengkak, terderness sepanjang aliran vena dalam, adanya kemerahan dan ada pelebaran vena. Diagnosis DVT 
 ditegakkan dengan comp ressive venous ultrasonography dan pemeriksaan D dimer . Standar baku untuk diagnosis DVT adalah venography. 
 Hanya sekitar 25% penderita DVT muncul dengan kelainan yang sesuai . Patofisiologi penyakit DVT dan PE yang sudah ditemukan pada tahun 1856 oleh rudolph virchow seorang
 patologis dari jerman. Penyebab Immobillitas gerakan seseorang karena istirahat total di tempat tidur maka diperlukan perubahan aliran darah. Statis harus dikembangkan ketika 
prosedur pembedahan melalui 30 menit atau anastesi umum yang menyebabkan dilatasi vena dan vena statis. Yang mempengaruhi statis vena adalah penyakit jantung, obesitas, 
dehidrasi, hamil dan stroke. Dinding katup dapat juga mempengaruhi dari trombosis vena dalam. Dilatasi vena terjadi dibawah tempat anastesi umum. DVT pada ekstremitas 
bawah dibagi menjadi 2 jenis : Below the knee DVT (banyak dan terdapat vena dalam betis)Ileofemoral DVT (kurang banyak terjadi, dihubungkan dengan terjadinya injuri langsung 
 dari dinding vena, misalnya pada pembedahan hip atau lutut atau akibat tindakan invasif kateter vena sentral (pada kateter vena sentral lokasi DVT dan dapat terjadi pada ektremitas atas). 

Tanda dan gejala DVT diantaranya adalah nyeri dengan atau tampa edema, tanda homans positif (nyeri betis saat posisi lutut flexi 90 dan telapak kaki dorsoflexi), demam ringan, 
hangat dan kemerahan pada ektremitas. Gejala ini tidak selalu tampak, bahkan banyak pasien tidak menyadari gejala ini sampai mereka berada di rumah. 

Rudolph Virchow in 1856 menjelaskan faktor penyebab DVT yaitu diantaranya adalah sebagai berikut: Stasis venaKerusakan pembuluh darah dan Aktivitas faktor pembekuan.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi statis pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan gangguan 
mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui :
A.Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
B.Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat   
  kerusakan jaringan dan proses peradangan.

         Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi
 seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.

4. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan 
darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, 
defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

Venografi dapat menjadi “ standart emas “ dalam penegakan DVT. Tromboemboli vena dapat bermanifestasi sebagai deep vein trombosis (DVT) atau emboli paru. Diagnosis DVT 
secara klinis sulit ditentukan karena 75% pasien yang dianggap menderita DVT ternyata tidak menderita. Diagnosis pasti DVT hanya dapat ditegakkan dengan menggunakan venografi, 
dimana sensitifitas dan spesifisitas mencapai 100%. Kelemahan venografi adalah tindakan invasif dan mempunyai efek samping phlebitis dan pembentukan trombosis, maka alat venografi
 tidak digunakan sebagai alat bantu utamanamun dikombinakasikan dengan D-dimer sebagai pemeriksaan penunjang. Apalagi bila kombinasi antara alat venografi, D-dimer dan ultrasonografi
 jika didapatkan nilai prediksi negatif maka hasil nya dapat terhindar dari diagnosis DVT. Pemeriksaan dengan D-dimer tidak begitu akurat pada pasien dengan malignansi dan kehamilan 
atau pada pasien paska operatifOleh karena itu, pada pasien dengan malignansi, kehamilan dan paska operatif sangat dianjurkan untuk mengkombinasi pemeriksaan D-dimer dengan ultrasonografi.
 Penggunakan diagnosis dengan alat duplex,kombinasi dari pencitraan B-mode dan Doppler pada satu instrumen, duplex, awalnya dilakukan sebagai penunjang diagnosis pada pembuluh darah arteri.
 Selain itu ultrasonografi duplex dapat digunakan mengetahui adanya obstruksi dan refluks vena. Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini 
sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pada TVD, pemeriksaan yang dapat penunjang adalah venografi/flebografi,
 ultrasonografi (USG) Doppler (duplex scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan MRI. Tujuan utama dari pemeriksaan penunjang adalah untuk menegakkan 
diagnosis TVD secara cepat dan aman, oleh karena itu kombinasi dari hasil pemeriksaan fisik dan pengukuran kadar D-Dimer merupakan pilihan pertama dalam diagnosis.



Faktor risiko terjadinya tromboemboli vena dapat dibagi menjadi 3 kelompok risiko, yaitu faktor hiperkoagulasi, faktor medikal dan faktor herediter/pasien.

 Faktor Medika
• Malignansi (khususnya pelvik,
abdominal, metastasis)
• Paraproteinemia
• Fraktur pelvik, ekstremitas
bawah
• Infark miokard
• Inflammatory bowel disease
• Sindroma nefrotik
• Tindakan bedah mayor
• Polisitemia
• Stroke
• Sindroma Behcet’s


 Faktor pasien
Antibodi Antifosfolipid, Lupus
Antikoagulan
• Defisiensi protein C
• Defisiensi protein S
Sindroma hiperviskositas
• Faktor V Leiden
• Disseminated intravascular
coagulation (DIC)
• Gangguan plasminogen dan
aktivasinya
• Heparin induced
thrombocytopenia (HIT)
• Disfibrinogenemia
• Homocysteinemia
• Defisiensi Antithrombin
• Gangguan Myeloproliferatif
• Mutasi gen protrombin 20210A




Faktor Surgical
Penggunaan pacemaker

Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
• Gagal nafas akut
 Gagal jantung kongestif
• Masa nifas
• Varises vena

• Obesitas
• Terapi estrogen dosis tinggi
• Usia >40 thn
• Immobilisasi
Riwayat menderita DVT/PE
• Kehamilan
Faktor-faktor resiko dari TVD adalah sebagai berikut ( C Suharti dalam Sundaru Aru W dkk, 2006): 
1. Duduk dalam waktu yang terlalu lama, seperti saat mengemudi atau sedang naik    
  pesawat terbang. Ketika kaki kita berada dalam posisi diam untuk waktu yang 
  cukup lama, otot-otot kaki kita tidak berkontraksi sehingga mekanisme pompa otot 
  tidak berjalan dengan baik.
2. Memiliki riwayat gangguan penggumpalan darah. Ada beberapa orang yang 
  memiliki faktor genetic yang menyebabkan darah dapat menggumpal dengan 
  mudah.
3. Bed Rest dalam keadaan lama, misalnya rawat inap di rumah sakit dalam waktu 
  lama atau dalam kondisi paralisis.
4. Cedera atau pembedahan
  Cedera terhadap pembuluh darah vena atau pembedahan dapat memperlambat 
  aliran darah dan meningkatkan resiko terbentuknya gumpalan darah. Penggunaan 
  anestesia selama pembedahan mengakibatkan pembuluh vena mengalami dilatasi 
  sehingga meningkatkan resiko terkumpulnya darah dan terbentuk trombus.
5. Kehamilan
   Kehamilan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam pembuluh vena daerah 
   kaki dan pelvis. Wanita-wanita yang memiliki riwayat keturunan gangguan 
   penjendalan darah memiliki resiko terbentuknya trombus.
6. Kanker
  Beberapa penyakit kanker dapat meningkatkan resiko terjadinya trombus dan   
  beberapa pengelolaan kanker juga meningkatkan resiko terbentuknya trombus
7. Inflamatory bowel sydnrome
8. Gagal jantung
   Penderita gagal jantung juga memiliki resiko TVD yang meningkat dikarenakan 
  darah tidak terpompa secara efektif seperti jantung yang normal
9. Pil KB dan terapi pengganti hormon
10. Pacemaker dan kateter di dalam vena
11. Memiliki riwayat TVD atau emboli pulmonal
12. Memiliki berat badan yang berlebih atau obesitas
13. Merokok
14. Usia tua (di atas 60 tahun)
15. Memiliki tinggi badan yang tinggi.



Jalur (pathway) koagulasi yang berdasarkan waktu (timebased):
1. Inisiasi : Tissue factor (TF) diekskresikan oleh vaskular yang rusak 
             mengikat FVIIa (bersirkulasi dalam jumlah kecil), memicu            koagulasi dengan mengaktivasi FIX menjadi FIXa dan FX menjadi 
             Fxa. Fxa kemudian mengikat FII, menghasilkan thrombin (FIIa)  
             dalam jumlah kecil. Pada reaksi yang lebih lambat, 
   FIXa mengikat dan mengaktivasi FX menjadi FXa. Kebanyakan 
             proses koagulasi invivo diinisiasi oleh tissue factor.
2. Amplifikasi : Tahap inisiasi thrombin yang dibentuk masih sedikit untuk dapat mengaktivasi fibrinogen menjadi fibrin, terdapat mekanisme amplifikasi umpan balik. Yang pertama, 
pembentukan FVIIa ditingkatkan oleh aktivasi FVII yang terikat pada tissue factor oleh FVIIa, FIXa dan Fxa. Thrombin kemudian mengaktivasi kofaktor non enzymatik FV dan FVIII,
 yang mengakselerasi aktivasi FII oleh Fxa dan Fxa oleh FIXa secara berurutan. Pada umpan balik berikutnya, thrombin juga mengaktivasi FXI menjadi FXIa yang meningkatkan pembentukan FIXa. 


3. Propagasi : Untuk mempertahankan pembentukan thrombin kontinu, memastikan pembentukan bekuan yang besar, sejumlah besar FXa diprodukasi oleh aktivasi FX oleh FIXa dan 
FVIIIa (intrinsic tenase complex). FIXa utamanya dari aktivasi FIX oleh kompleks FVIIa/TF. 
4. Stabilisasi : Pembentukan thrombin maksimal terjadi setelah pembentukan monomer-monomer fibrin. Setelah itu terjadi maka jumlah trombin cukup untuk mengaktivasi FXIII, sebuah tranglutaminase, yang kemudian mengcross-link monomer-monomer fibrin menjadi jaringan fibrin yang stabil. Sebagai tambahan, thrombin kemudian mengaktivasi thrombinactivatable-fibrinolysis-inhibitor (TAFI) yang melindungi bekuan fibrin dari aktifitas fibrinolisis. Tindakan bedah sering menganggu keseimbangan sistem ini yang dapat menyebabkan 
kecenderungan terjadinya trombosis ataupun perdarahan. Selain tindakan bedah, banyak faktor risiko klinis lain yang dapat menyebabkan gangguan yaitu immobilisasi, infeksi, 
kanker (keganasan) dan obat-obatan, dan juga berbagai macam faktor perioperatif seperti hipotermia, asidosis metabolik, penggunaan volume expander dan sirkulasi ekstrakorporeal. 
Beberapa jam setelah operasi terdapat peningktan tissue factortissue plasminogen activator, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan vWF yang menyebabkan hiperkoagulasi dan hipofibrinolitik. 
DVT umumnya terjadi pada ekstremitas bawah, tetapi juga dapat terjadi di ekstremitas atas, meskipun dengan rendah frekuensi. Temuan fisik di DVT ditentukan oleh lokasi obstruksi vena, 
ukuran trombus, apakah lumen pembuluh darah yang sebagian atau seluruhnya terhalang, dan kecukupan sirkulasi kolateral. Dengan demikian, temuan fisik mungkin absen jika lumen vena 
sebagian terhalang atau jika saluran agunan memungkinkan untuk mengalir di sekitar obstruksi.
Pasien mungkin menunjukkan edema unilateral,peningkatan diameter satu betis, pergelangan kaki, atau paha dalam Sehubungan dengan edema atau pitting hanya satu kaki juga dapat diamati. 
 Temuan yang lebih akurat adalah nyeri yang terjadi ketika meraba betis atau bersama vein. Manifestasi kurang umum termasuk vena superfisial menonjol dan teraba suatu tali. 
Berkaitan dengan pengobatan perawat berkolaborasi dengan dokter. Terapi standar untuk DVT adalah unfractionated heparin intravena. Heparin dapat membatasi pembentukan bekuan darah 
dan meningkatkan proses fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan antikoagulan oral tunggal sebagai terapi awal untuk DVT, karena antikoagulan oral dapat meningkatkan 
risiko tromboemboli disebabkan inaktivasi protein C dan protein S sebelum menghambat faktor pembekuan eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah activated PTT 1,5 sampai 2,5 kali lipat 
untuk mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat dicapai dengan dosis heparin ≥30.000 U/hari atau >1250 U/jam. Metode yang sering dipakai adalah bolus intravena inisial diikuti 
dengan infus heparin kontinu. Selain itu metode pemberian subkutan dua kali sehari juga efektif.
Warfarin adalah antikoagulan oral yang paling sering digunakan untuk tatalaksana jangka panjang DVT. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat produksi faktor II, VII, IX dan X, 
protein C dan protein S. Efek warfarin dimonitor dengan pemeriksaan protrombin time (PT) dan diekspresikan sebagai internationalized normalized ratio (INR). Terapi warfarin harus dimulai 
segera setelah PTT berada pada level terapeutik, baiknya dalam 24 jam setelah inisiasi terapi heparin. Sasaran INR yang ingin dicapai adalah 2.0 sampai 3.0. Dosis inisial warfarin adalah 5 mg 
dan biasanya mencapai INR sasaran pada hari ke-4 terapi. Dosis warfarin selanjutnya harus diindividualisasi menurut nilai INR. Terapi trombolitik jarang diindikasikan untuk DVT, biasanya
 diberikan pada pasien dengan DVT iliofemoral yang ekstensif dan risiko rendah terhadap perdarahan. Kontraindikasi absolut untuk terapi trombolitik adalah perdarahan internal aktif, stroke 
dalam kurun waktu 2 bulan belakangan, abnormalitas intrakranial, hipertensi berat tidak terkontrol dan adanya kelainan diatesis perdarahan. Kontraindikasi relatif terhadap terapi trombolitik adalah
 tindakan bedah mayor atau persalinan pervaginam dalam kurun waktu 10 hari sebelumnya, riwayat perdarahan gastrointestinal, tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg, 
kehamilan, usia >75 tahun dan hemorrhagic diabetic
retinopathy.
DAFTAR PUSTAKA 

Anonim (2015). 10 Deep Vein Thrombosis Fact. Diakses pada 10 Oktober 2016, dari : http://www.thrombocyte.com/wp-content/uploads/2015/07/dvt-deep-vein-thrombosis-1.jpg

Circ J (2011). Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Pulmonar Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis (JCS 2009). Diakses pada 16 September 2016, dari: http://intranet.santa.lt/thesaurus/no_crawl/PLAUTINE%20HYPERTENZIJA/Guidelines%20for%20the%20Diagnosis,%20Treatment%20and%20%20Prevention%20of%20Pulmonary%20embolism%20and%20Deep%20Vein%20Thrombosis%20(JSC%202009).pdf


Ismail, D.A.L. Tobing , A. Bachtiarƒ, U.P. Siregar, K.L. Tambunan(2004). Protein C, protein S, antithrombin III, and hyperfibrinogenemia in deep vein thrombosis (DVT) among patients who underwent high risk orthopaedic surgery. Diakses pada 16 September 2016, dari : http://repub.eur.nl/pub/71132/1-s2.0-S0950355297800223-main.pdf Anne 

M. Aquila, APRN (2001). Deep Venous Thrombosis. Diakses pada 16 September 2016, dari: http://ctcdvt.com/DVT_Articles/DVT_06.pdf
 

Mehrdad payandeh, mohammad erfan zare et all (2011). Protein C dan Sdeficiency in deep vein thrombosis patient reffered to iranian blood transfusion organization, kermanshah. Diakses pada 18 September 2016, dari : http://ijhoscr.tums.ac.ir/index.php/ijhoscr/article/download/273/266
 

Ricky Autar(2003). The management of deep vein thrombosis: the Autar DVT risk assessment scale re-visited. Diakses pada 16 September 2016, dari: http://geriatrictoolkit.missouri.edu/cv/DVT/Autar DVT-scale-article.pdf

RJP Anak

  RJP ANAK A. BLS     1. Pengertian BLS ( Basic Life Support) BLS ( Basic Life Support ) adalah tindakan pemberian pertolongan, pengobatan, ...